Setelah menyelesaikan tugas-tugasku malam ini aku
mencoba memejamkan mata. Namun setumpuk tugas dan masalah belum terselesaikan
yang menggunung di meja kerja, ditambah dinginnya udara malam yang terasa
menusuk hingga tulang, membuat mata seolah tidak mau terpejam. Hingga menjelang
jam dua dinihari mata masih tetap terbuka memandang atap kamar tembus ke langit
malam yang gulita.
Tiba-tiba
terdengar suara lembut yang datang secara tiba-tiba. Dalam hening dia berkata;
”aku adalah DAMAI namun manusia tak mampu menjagaku. Aku hanya dijadikan alat
untuk berkuasa. Kedudukanku tidak lebih hanya sebagai bahan retorika para elit
belaka. Mereka selalu bertindak semena-mena, menindas, menginjak-injak si lemah
atas nama diriku padahal sebenarnya mereka tidak pernah menjagaku. Mereka
justru anti terhadapku, maka lebih baik aku mematikan diriku saja”.
Di sudut tempat yang lain terdengar suara yang
sangat lemah. Dengan sedikit sesenggukan dan diliputi rasa kecewa dia berkata;
”aku adalah IMAN, sayang kebanyakan manusia tak mau mengenalku. Mereka semakin
menjauh dariku. Bahkan orang yang dekat dariku selalu dibujuk untuk berpaling.
Aku dianggap sebagai sesuatu yang kuno, kolot, tradisional, gak sesuai lagi
dengan kemajuan zaman. Ya…. zaman yang menjadikan bumi seolah tempat yang kekal
untuk ditinggali. Zaman dimana ukuran kemuliaan bukan lagi terletak pada budi
pekerti. Zaman dimana manusia selalu mendewa-dewakan harta, tahta, dan wanita.
Zaman yang tumbuh subur di dalamnya budaya hedonistik dan materialistik.
Keberadaanku di muka bumi sudah tidak berguna lagi. Maka lebih baik aku mati
saja,”.
Beberapa saat setelah itu terdengarlah suara
parau. Tidak seperti biasanya yang selalu riang, kali ini ia berbicara sambil
meneteskan air mata; ”aku adalah CINTA. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.
Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka semakin sempit
memaknaiku. Aku hanya diagung-agungkan manakala nafsu berbicara. Aku sering
ditendang jika muncul perbedaan di antara mereka. Mereka saling membenci,
mencaci, menyakiti, bahkan menumpahkan darah. Maka lebih baik aku mati saja”.
Mendengar
percakapan itu tak terasa air mataku ikut berlinang. Aku bisa merasakan
kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh DAMAI, IMAN, dan CINTA. Tergambar
jelas di benakku keadaan dunia tanpa mereka bertiga. Ngeri…..
menakutkan…..Namun, disaat hati ini gundah gulana, terdengarlah suara lembut
nan bijaksana di kedua telinga; ”jangan takut dan jangan menangis sobat…!
selama aku masih ada, kita bisa membuat mereka bertiga tetap hidup. Akulah
HARAPAN. Akulah yang akan mengobati kekecewaan mereka. Akulah yang akan
memberikan suntikan motivasi kepada mereka. Akhirnya, dengan mata bersinar ia
beranjak menuju DAMAI, IMAN, dan CINTA. Dan dengan penuh semangat ia membimbing
mereka bertiga bangkit dan bertahan untuk menjalani hidup yang semakin kejam
ini...
1 komentar:
wow tenan po ura ikiiii
Posting Komentar