Senin, 01 November 2010

Damai, Iman dan Cinta serta HARAPAN


Setelah menyelesaikan tugas-tugasku malam ini aku mencoba memejamkan mata. Namun setumpuk tugas dan masalah belum terselesaikan yang menggunung di meja kerja, ditambah dinginnya udara malam yang terasa menusuk hingga tulang, membuat mata seolah tidak mau terpejam. Hingga menjelang jam dua dinihari mata masih tetap terbuka memandang atap kamar tembus ke langit malam yang gulita.
Tiba-tiba terdengar suara lembut yang datang secara tiba-tiba. Dalam hening dia berkata; ”aku adalah DAMAI namun manusia tak mampu menjagaku. Aku hanya dijadikan alat untuk berkuasa. Kedudukanku tidak lebih hanya sebagai bahan retorika para elit belaka. Mereka selalu bertindak semena-mena, menindas, menginjak-injak si lemah atas nama diriku padahal sebenarnya mereka tidak pernah menjagaku. Mereka justru anti terhadapku, maka lebih baik aku mematikan diriku saja”.
Di sudut tempat yang lain terdengar suara yang sangat lemah. Dengan sedikit sesenggukan dan diliputi rasa kecewa dia berkata; ”aku adalah IMAN, sayang kebanyakan manusia tak mau mengenalku. Mereka semakin menjauh dariku. Bahkan orang yang dekat dariku selalu dibujuk untuk berpaling. Aku dianggap sebagai sesuatu yang kuno, kolot, tradisional, gak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Ya…. zaman yang menjadikan bumi seolah tempat yang kekal untuk ditinggali. Zaman dimana ukuran kemuliaan bukan lagi terletak pada budi pekerti. Zaman dimana manusia selalu mendewa-dewakan harta, tahta, dan wanita. Zaman yang tumbuh subur di dalamnya budaya hedonistik dan materialistik. Keberadaanku di muka bumi sudah tidak berguna lagi. Maka lebih baik aku mati saja,”.
Beberapa saat setelah itu terdengarlah suara parau. Tidak seperti biasanya yang selalu riang, kali ini ia berbicara sambil meneteskan air mata; ”aku adalah CINTA. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka semakin sempit memaknaiku. Aku hanya diagung-agungkan manakala nafsu berbicara. Aku sering ditendang jika muncul perbedaan di antara mereka. Mereka saling membenci, mencaci, menyakiti, bahkan menumpahkan darah. Maka lebih baik aku mati saja”.
Mendengar percakapan itu tak terasa air mataku ikut berlinang. Aku bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh DAMAI, IMAN, dan CINTA. Tergambar jelas di benakku keadaan dunia tanpa mereka bertiga. Ngeri….. menakutkan…..Namun, disaat hati ini gundah gulana, terdengarlah suara lembut nan bijaksana di kedua telinga; ”jangan takut dan jangan menangis sobat…! selama aku masih ada, kita bisa membuat mereka bertiga tetap hidup. Akulah HARAPAN. Akulah yang akan mengobati kekecewaan mereka. Akulah yang akan memberikan suntikan motivasi kepada mereka. Akhirnya, dengan mata bersinar ia beranjak menuju DAMAI, IMAN, dan CINTA. Dan dengan penuh semangat ia membimbing mereka bertiga bangkit dan bertahan untuk menjalani hidup yang semakin kejam ini...

1 komentar:

DY.net Sidodadi mengatakan...

wow tenan po ura ikiiii

Posting Komentar

 
(MI)KEN. Template Design By: SkinCorner